Senin, 31 Oktober 2016

GUS DUR: TUHAN TIDAK PERLU DI BELA

Tuhan Tidak Perlu Dibela
bersama dengan pemikirannya Sebuah situasi yang terjadi didalam bangsa Indonesia saat ini, ketika anarkisme sangat kental terjadi dan sudah merembet hingga menjadi budaya bangsa ini. Bangsa yang sangat terkenal akan sebuah budaya santun, ramah dan saling menghargai semenjak ribuan tahun lama nya kini sudah mulai berubah. Begitu banyak kejadian-kejadian yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, kejadian yang bukan saja menuju kepada bangsa yang berbudaya tinggi tetapi menuju kepada yang primitive, dimana akal sehat dan budaya sudah kalah dengan anarkisme dan fundamentalis. 

KH MAFTUH SAID, RAIS SYURIAH NU KABUPATEN MALANG

Pondok Pesantren Al-Munawwariyyah, Desa Sudimoro, Kecamatan Bululawang tidak mengkhususkan sebagai pesantren penghafal Al quran, meski sebagai besar menghafal Al quran. Karena mereka juga mengikuti sekolah formal, mulai SD, SMP, SMA dan SMK. Para santrinya kebanyakan masih seusia anak-anak sekolah dasar.

Jumat, 21 Oktober 2016

Gebyar HARI SANTRI NASIONAL 2016

Dalam peringatan HARI SANTRI NASIONAL 2016, seluruh banom NU Kabupaten malang bersatu dan bergerak untuk memeriahkan HSN.
Bersatu dalam menyongsong HSN, banom NU kabupaten menyusun serangkaian kegiatan, diantaranya:
1. Kirab panji resokusi jihad PBNU
2. Lomba seni islami
3. Pembacaan 1 milyar sholawat nariyah
4. Kemah jambore santri
5. Apel santri
6. Parade 1000 rebana
7. Santri award
8. Festival musik religi
9. Resepsi HSN

Seluruh kegiatan dilaksanakan dengan penanggungjawab dari banom yang berbeda. Masing-masing banom memiliki tanggungjawab kegiatan.

Momentum HSN menjadikan seluruh santri bangga akan status nya sebagai santri.
Mendajikan KH HASYIM AS`ARY  sebagai inspirasi dalam membangun jiwa nasionalisme.
Resolusi jihad sebagai seruan penyemangat para suhada.

Resolusi jihad nu, santri untuk negri

Sabtu, 15 Oktober 2016

Denny Siregar: NU, aku jatuh cinta pada mu

*NU, Aku Jatuh Hati Padamu*
 Denny Siregar
 Jumat, Oktober 14, 2016



Saya selalu senang dengan sikap NU.
NU itu seperti organisasi Hezbullah di Lebanon. Hezbullah meski sebagai organisasi besar dan kuat di Lebanon, tidak mau mencampuri urusan dalam negeri Lebanon.

Rabu, 12 Oktober 2016

PANDANGAN CAK NUN TENTAN PEMIMPIN KAFIR

Berbicara soal pemimpin kafir, budayawan senior Emha Aiun Najib tidak setuju jika kafir dan Muslimnya seseorang dinilai seperti benda mati.

“Status Muslim dan kafir itu dinamis (pada setiap orang), tidak bisa dinilai dengan ukuran statis,” kata pria yang akrab disapa Cak Nun ini sembari menegaskan bahwa pendapatnya tidak ada kaitannya dengan Gubernur Ahok.

Pandangan alternatif pria kelahiran Jombang ini mengingatkan juga pada hadist Nabi Saw yang bersabda: “Tidak termasuk orang yang beriman, siapa saja yang kenyang sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari)

Selain itu, lanjut Cak Nun, Muslim atau kafir tidak berdiri sendiri. Kafir kepada siapa? Jika ia kafir dalam arti membangkang atau ingkar pada perintah Iblis, berarti sejatinya ia beriman pada Allah. Sebaliknya, jika ia berserah diri pada rayuan Iblis maka ia sejatinya orang yang ‘Muslim’ pada Iblis.
“Hukum tidak mengadili manusia, tapi yang diadili adalah perbuatannya,” kata penulis buku ‘Slilit Sang Kiayi’ ini menjelaskan filosofi hukum.

Karena itu, menghakimi seseorang  bahwa ia Muslim dan kafir bukan dilihat dari identitasnya, tapi perbuatannya. Jadi orang yang sekarang disebut Muslim bisa kafir kapan saja.

“Toh Anda tidak bersyukur aja tergolong kufur ko,” katanya sambil menjelaskan ragam tingkatan kufur.

Jika kita ditinjau dari hadist-hadist Nabi, kekafiran itu identik dengan moral seseorang. Bukhari misalnya meriwayatkan, “Tidaklah beriman seorang pezina ketika ia sedang berzina. Tidaklah beriman seorang peminum khamar ketika ia sedang meminum khamar. Tidaklah beriman seorang pencuri ketika ia sedang mencuri.”

Cak Nun juga menyampaikan kritik soal dikotomi pemimpin kafir tapi adil dan pemimpin Muslim tapi dzalim. Pertama, keduanya bukanlah kriteria pemimpin.  Muslim tapi dzalim tidak memenuhi kriteria kepemimpinan, sedemikian sehingga tidak bisa disebut pemimpin.

“Ini bertentangan satu sama lain. Ini kesalahan substantif dalam berfikir”

Cak Nun lalu mempertanyakan bagaimana mungkin ada Muslim tapi disebut dzalim. Baginya, jika dikaji makna substantifnya, kalau dzalim pasti bukan Muslim. “Gula ko pahit?,” katanya memberikan analogi.

Tidak berbeda dengan pernyataan tentang kafir itu adil. Kekufuran itu, kata Cak Nun, bahkan merupakan puncak ketidakadilan. Kepada Tuhan saja ia tidak bersikap adil, bagaimana ia bisa disebut adil secara horizontal. Karena itu, dikotomi kesalehan individual dan kesalehan sosial juga terlalu dangkal. Bagi Cak Nun, jika perilakunya merusak di ranah sosial, sejatinya tidak layak disebut saleh meski secara lahir terlihat saleh. Karena orang saleh (secara individu) akan saleh secara sosial.

Penjelasan ini sejatinya mencerminkan hubungan identik antara keimanan dan empati sosial. Misalnya, dalam sebuah hadist, Nabi Saw bersabda: “Tak beriman seseorang dari kalian hingga dia menginginkan kebaikan bagi saudaranya sebagaimana dia menginginkan kebaikan bagi dirinya sendiri.”

Selanjutnya, kata Cak Nun, “Yang bilang gubernur itu pemimpin itu siapa?”  Gubernur, bagi pria asal Jombang ini,  bukanlah pemimpin tapi petugas. Gubernur sebagaimana pejabat lainnya ialah orang yang dibayar oleh rakyat untuk bekerja mengurus transportasi publik, kemacetan, banjir dan hal-hal semacamnya.

“Itu pembantu rumah tangga dalam skala provinsi. Ko’ disebut pemimpin,” katanya mengajak kembali menggali konsep hakiki ‘pemimpin’ dalam Islam.