Senin, 31 Oktober 2016

GUS DUR: TUHAN TIDAK PERLU DI BELA

Tuhan Tidak Perlu Dibela
bersama dengan pemikirannya Sebuah situasi yang terjadi didalam bangsa Indonesia saat ini, ketika anarkisme sangat kental terjadi dan sudah merembet hingga menjadi budaya bangsa ini. Bangsa yang sangat terkenal akan sebuah budaya santun, ramah dan saling menghargai semenjak ribuan tahun lama nya kini sudah mulai berubah. Begitu banyak kejadian-kejadian yang terjadi didalam kehidupan masyarakat, kejadian yang bukan saja menuju kepada bangsa yang berbudaya tinggi tetapi menuju kepada yang primitive, dimana akal sehat dan budaya sudah kalah dengan anarkisme dan fundamentalis. 


Sungguh membuat hati terpaku dan terpana, ketika seakan-akan bahwa bangsa kita kehilangan jatidirinya. Pertanyaan yang selalu saja muncul dalam sejarah perjalanan agama-agama adalah untuk siapakah sebenarnya agama itu “dibuat”? Apakah Tuhan itu gila hormat, padahal Ia Maha segalanya ? Apakah Tuhan adalah ibarat seorang raja, yang memiliki “kerajaan agama” sehingga perlu dibela dari berbagai rongrongan terhadap kekuasaan Sang Tuhan itu? Kalau memang demikian, mengapa Tuhan yang Maha segalanya itu masih perlu dibela? Apakah Nabi-Nya juga butuh penghormatan dari kita bila Tuannya saja tidak, apakah Nabi-Nya meminta kita untuk rela mati untuk ia, menghancurkan dan merusak orang-orang tidak bersalah demi kehormatan Nabi, jikalau Tuan dari Nabi tersebut bahkan tidak minta di bela ? Sebuah pertanyaan mendasar kita adalah apakah kadar keimanan seorang umat kepada Tuhannya dinilai dari sebuah tindakan anarkis yang intoleransi terhadap masyarakat sekitarnya yang bahkan tidak tahu menahu tentang apa yang sedang ia bela? Dalam kenyataan sejarah yang selalu terjadi berulang kali, bahwa agama sama sekali memang tidak dapat steril dari berbagai hasrat dan kepentingan manusiawi, sehingga dalam titik-titik tertentu agama kerap kali ditunggangi, demi interest dari kelompok tertentu. Agama menjadi semacam legitimasi sikap politis dari kepentingan suatu kelompok. Nama Tuhan, yakni “Sang Penguasa Agama”, dibawa-bawa ke sana kemari, mirip sebuah barang dagangan bahkan cenderung menjadi berdagang kelas asongan. Kalau sudah demikian kejadiannya, apakah yang terjadi sebenarnya bukan merupakan reduksi terhadap nilai luhur dari misi agama itu sendiri? Didalam buku Gus Dur ini Tuhan Tidak Perlu Dibela.” 

Ada kesan yang cukup kuat akan suatu kekhawatiran terjadinya perselingkuhan agama dengan sebuah kepentingan politik kelompok tertentu--yakni dengan mengatasnamakan agama, atau bahkan Tuhan--sehingga akhirnya melahirkan suasana politik kekerasan atau kekerasan politik dengan dalih agama. Ajakan Gus Dur untuk tidak usah membela Tuhan yang diserukan pada pertengahan 1982 ini kurang lebih didorong semangat untuk menyadarkan kembali akan hakikat keberagamaan manusia. Agama pada awal kelahirannya selalu merupakan koreksi atas kecelakaan sejarah yang menindas manusia sekaligus martabat kemanusiaannya. Tetapi, perkembangan sejarah justru cenderung mengebiri watak profetis dari agama itu sendiri, sehingga lahirlah praktik-praktik kekerasan dengan suatu pengawalan dari patron (kekuasaan) politis. 

Menurut Gus Dur, hal ini terjadi karena akibat dari perilaku kaum fundamentalis agama yang berakar pada fanatisme yang sempit. Pada orang-orang semacam ini, kesadaran pluralisme sama sekali diabaikan. Sebagai suatu instrumen dalam formasi non-diskursif--dalam istilah Michel Foucault--agama lalu melakukan represi terhadap berbagai nalar yang liar dengan ditopang oleh suatu tafsir tunggal terhadap formasi diskursif dari agama itu sendiri, yakni teks suci. Hal inilah yang kemudian melahirkan suatu pemandangan paradoks dalam sejarah agama-agama: agama yang mula-mula hendak menghidupkan martabat kemanusiaan justru menjadi pisau pembunuh kemanusiaan itu sendiri. Tiap kali ada orang yang mati-matian membela agamanya—Tuhannya—dan menyerang agama ataupun sekte lain sebagai sesat, kafir, dlsb-nya, saya kembali teringat Gus Dur. 

Ia tentunya sangat jengah dengan orang-orang model ini, walau mestinya mereka seiman dengannya. Heran. Kok mesti dengan kekerasan membela Tuhan? Dengan bakar-bakar? Dengan gebuk-gebukan? Padahal,  “Tuhan tak perlu dibela” kata Gus Dur yakin. Ya, Tuhan memang tak perlu dibela. Dalam sebuah artikel yang diterbitkan Tempo (bisa dibaca di wahidinstitute.org), Gus Dur menulis uraiannya tentang ketidakperluan kita membela Tuhan. Dengan mantap ia menulis: “Allah itu Maha Besar. Ia tidak perlu memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya. Ia Maha Besar karena Ia ada. Apa yang diperbuat orang atas diri-Nya, sama sekali tidak ada pengaruhnya atas wujud-Nya dan atas kekuasaan-Nya.” Lanjutnya dalam artikel itu: “bila engkau menganggap Allah ada karena engkau merumuskannya, hakikatnya engkau menjadi kafir. Allah tidak perlu disesali kalau ia “menyulitkan” kita. Juga tidak perlu dibela kalau orang menyerang hakikat-Nya. Yang ditakuti berubah adalah persepsi manusia atas hakikat Allah, dengan kemungkinan kesulitan yang diakibatkannya.” 

Dalam hal ini Gus Dur mengutip Al-Hujwiri, seorang sufi dari Persia. Lalu Gus Dur menyimpulkan bahwa benar Islam perlu dikembangkan, tapi tidak untuk dihadapkan kepada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikit pun dengan adanya keraguan orang. Maka ia pun tenteram. Tidak lagi merasa bersalah berdiam diri. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun juga tidak menolak  dibela. Berarti atau tidaknya pembelaan, akan kita lihat dalam perkembangan di masa depan. Dengan pijakan-pijakan ini kemudian yang dilakukan Gus Dur dalam kehidupannya bukanlah membela Tuhan, tapi membela kaum minoritas yang seringkali tertindas oleh mayoritas. Tuhan tak perlu dibela, yang harus dibela adalah umatnya—yang tak mendapatkan keadilan. Tak heran kemudian ia membela kaum transgender, minoritas China, orang-orang yang berpaham komunis, dan lain kelompok terpinggirkan lainnya. 

Ia membela Tuhan dengan membela ummatnya yang menjadi korban kedzaliman. Gus Dur sangat tidak sepakat dengan politik pengatasnamaan Tuhan dalam laku politik umat Islam yang telah seringkali terjadi dalam sejarah politik Islam Indonesia. Alasannya sederhana saja: sebab Tuhan yang dibawa di situ adalah Tuhan-yang-berada-dalam-wacana, bukan Tuhan-yang-berada-di-luar-sana. Because the Truth is out there. Kebenaran yang menjadi legitimasi dalam kasus ini sudah masuk dalam wilayah kepentingan kelompok, bukan suatu Kebenaran-Transendental. Dalam suasana yang sedemikian rumit ini, Gus Dur lalu menjunjung tinggi semangat penggalian otentisitas peran agama dalam masyarakat melalui sebuah kreativitas berpikir. Kalau ada kelompok tertentu yang menganggapnya sebagai tindakan liar--atau bahkan murtad--bagi Gus Dur lebih baik diserahkan kepada gerak sejarah. Klaim pembenaran terhadap diri sendiri mesti dihindari. Cukup diimbangi saja dengan informasi dan ekspresi diri yang “positif konstruktif”, dengan mendudukkan persoalan secara dewasa dan sewajarnya. Dalam kasus pemikiran “dekonstruksionis” Ahmad Wahib atau gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid di tahun 1970-an, misalnya, Gus Dur betul-betul menghargai hal itu sebagai sebuah kreativitas manusia menghadapi tantangan zamannya. Seperti yang dilakukan Khalifah Utsman bin Affan ketika menggagas untuk mengumpulkan teks al-Qur’an yang semula berserakan; atau Imam Syafi`ie, ketika menyusun kembali metode pengambilan hukum agama dari al-Qur’an dan Hadits dengan membatalkan sejumlah metode lain yang mendahuluinya. Pun, seperti pernah dialami al-Ghazali sebelum dan sesudah menjadi sufi; al-Ghazali sebenarnya berubah dalam visi, tetapi tetap dalam keagungan ilmu karena mempertahankan hak untuk memeriksa segala teks agama melalui kemerdekaan berpikir, melalui sebuah kreativitas nalar. Di sinilah, penghargaan terhadap nilai kreativitas sebagai bentuk perjuangan (“jihad intelektual”) untuk lebih memanusiakan manusia betul-betul dijunjung tinggi. Sebagai sebuah bagian dari “misteri Tuhan” yang cukup sulit diungkap, pikiran-pikiran kontroversial Gus Dur memang cukup menarik diikuti. 

Setidaknya, begitulah pengakuan Lance Castle--seorang pengamat asal Australia. Dan kalau kita ingin ikut memecahkan puzzle bernama Gus Dur, terutama dalam konteks reformasi politik saat ini, sebenarnya bisa dimulai dengan mencermati gagasan-gagasan klasik Gus Dur yang termuat dalam buku ini--yang kebanyakan ditulis pada tahun 1970-an hingga 1980-an. Buku yang diantarkan secara cukup panjang, kritis, dan cerdas oleh Bisri Effendy ini sekiranya dapat pula ikut meramaikan wacana politik Islam di Indonesia, terutama dalam konteks yang begitu luas antara bingkai keagamaan, kebangsaan, serta kebudayaan. Oh. Allah Sifat Kasih-Nya begitu besar dan mengalir terus di kehidupan setiap makhluk-Nya. Sungguh ini merupakan pembelaan Zat Yang Maha Besar, Kuat, lagi Perkasa. Maka sayapun tertunduk malu, menyesal, dan mohon ampunan-Nya karena saya begitu lancang mengatakan, “Sayalah pembela Allah! Sayalah pembela Agama saya!”. Bukan! Sayalah yang selama ini justru begitu manja menikmati pembelaan Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar